Adab mencari ilmu selama ini sering diabaikan. Hubungan antara murid dan guru tak ubahnya penjual dan pembeli. Kini, saatnya kita kembali mendulang adab-adab mencari ilmu yang telah dipanggungkan oleh para ulama sehingga ilmu dapat memberi manfaat, bukan hanya pada tataran duniawi, namun juga pada tataran ukhrawi.
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dengan ketajaman analisa dan penanya, mementaskan empat adab bagi pencari ilmu.
Adab pertama bagi seorang pencari ilmu ialah menyucikan hati dari segala pelanggaran-pelanggaran yang dimurkai Allah.Imam Nawawi dalam mukadiman Syarh Al-Muhadzdzab berkata: “Sayudianya bagi seorang penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu, menghafal, dan memanfaatkannya”Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad memberi perumpaan yang sungguh indah tentang hati yang kotor. Beliau mengatakan jika seseorang datang dengan membawa sebuah wadah kotor untuk diisi madu di dalamnya, maka orang yang akan membeli madu tersebut pasti akan berkata, “Cucilah terlebih dahulu wadah yang kotor ini, baru kamu isi dengan madu.”
Kata Imam Abdullah, “Dalam masalah dunia saja, wadah yang kotor perlu dibersihkan, maka bagaimana dapat rahasia-rahasia ilmu Allah itu justru diletakkan di dalam hati-hati yang dekil?”Adab pertama ini merupakan langkah awal bagi para pencari ilmu, tak terkecuali para guru, untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang malah menjadi penghalang masuknya ilmu dalam sanubari.
Adab kedua, menurut Habib Zain, adalah ikhlas karena Allah di dalam mencari ilmu. Seseorang tidak diperkenankan mencari ilmu dengan kemuliaan diri yang melekat. Seorang pencari ilmu mesti ikhlas karena Allah. Dengan modal ikhlas tersebut, ia berusaha membuat hati gurunya ridha mengangkat dan mengakui sebagai murid setianya.Suatu hari, Abdullah bin Abbas membawa tali kuda sebagai kendaraan gurunya, Ubay bin Ka`ab. Ia tuntun kendaraan gurunya itu. Sang guru bertanya, “Ada apa ini, wahai putra Abbas?” Dijawab, “Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami.” Abdullah tetap memandu jalannya kendaraan sang guru sampai ke tempat tujuan.
Adab kedua memberi pengertian bahwa pencari ilmu mesti menanggalkan kebanggaan nasab, kedudukan, dan harta yang ia miliki. Ia lepaskan demi terjun secara total meraih ilmu lewat para guru dan ulama dengan penuh keihlasan kepada Allah SWT.
Adab ketiga yang harus ada pada diri penuntut ilmu adalah mengambil faedah (manfaat) di mana saja berada. Pencari ilmu mesti jeli melihat, mengamati, dan meraih manfaat dari tiap jengkal langkah hidupnya. Tidaklah berlalu sesaat dari umurnya, kecuali ia isi dengan kemanfaatan. Abu Al-Bakhtary berkata: “Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripada saya, lebih saya sukai timbang bersama kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku.” Mengapa? Jawabnya, “Karena, jika aku duduk bersama kaum yang derajat pengetahuannya di bawahku, aku tidak bisa mengambil manfaat. Namun jika aku duduk bersama orang-orang yang lebih berilmu dari diri saya ini, aku bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.”
Adab keempat yang disebutkan oleh Habib Zain adalah bersikap sederhana dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Makan dan minum adalah kebiasaan siapa saja. Manusia makan dan minum untuk hidup. Namun hal demikian tidak lantas menjadi alasan untuk berlebih-lebihan, khususnya bagi pencari ilmu.
Bahkan, seorang ulama bernama Sahnun berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang makan hingga kekenyangan.”Dalam wasiat penuh hikmah dari Lukman Al-Hakim kepada putranya, ia berkata: “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh pikiran akan tertidur, hikmah akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dari beribadah.”Imam Syafi`i berkata, “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karenakekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat kantuk, dan melemahkan orang tersebut dari beribadah.”
Demikianlah empat etika yang dipaparkan oleh Habib Zain seputar adab bagi manusia-manusia yang menceburkan dirinya dalam lautan ilmu. Ambillah ilmu yang hendak kita miliki sebanyak-banyaknya namun janganlah kita absen dari adab.
Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dengan ketajaman analisa dan penanya, mementaskan empat adab bagi pencari ilmu.
Adab pertama bagi seorang pencari ilmu ialah menyucikan hati dari segala pelanggaran-pelanggaran yang dimurkai Allah.Imam Nawawi dalam mukadiman Syarh Al-Muhadzdzab berkata: “Sayudianya bagi seorang penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu, menghafal, dan memanfaatkannya”Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad memberi perumpaan yang sungguh indah tentang hati yang kotor. Beliau mengatakan jika seseorang datang dengan membawa sebuah wadah kotor untuk diisi madu di dalamnya, maka orang yang akan membeli madu tersebut pasti akan berkata, “Cucilah terlebih dahulu wadah yang kotor ini, baru kamu isi dengan madu.”
Kata Imam Abdullah, “Dalam masalah dunia saja, wadah yang kotor perlu dibersihkan, maka bagaimana dapat rahasia-rahasia ilmu Allah itu justru diletakkan di dalam hati-hati yang dekil?”Adab pertama ini merupakan langkah awal bagi para pencari ilmu, tak terkecuali para guru, untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang malah menjadi penghalang masuknya ilmu dalam sanubari.
Adab kedua, menurut Habib Zain, adalah ikhlas karena Allah di dalam mencari ilmu. Seseorang tidak diperkenankan mencari ilmu dengan kemuliaan diri yang melekat. Seorang pencari ilmu mesti ikhlas karena Allah. Dengan modal ikhlas tersebut, ia berusaha membuat hati gurunya ridha mengangkat dan mengakui sebagai murid setianya.Suatu hari, Abdullah bin Abbas membawa tali kuda sebagai kendaraan gurunya, Ubay bin Ka`ab. Ia tuntun kendaraan gurunya itu. Sang guru bertanya, “Ada apa ini, wahai putra Abbas?” Dijawab, “Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami.” Abdullah tetap memandu jalannya kendaraan sang guru sampai ke tempat tujuan.
Adab kedua memberi pengertian bahwa pencari ilmu mesti menanggalkan kebanggaan nasab, kedudukan, dan harta yang ia miliki. Ia lepaskan demi terjun secara total meraih ilmu lewat para guru dan ulama dengan penuh keihlasan kepada Allah SWT.
Adab ketiga yang harus ada pada diri penuntut ilmu adalah mengambil faedah (manfaat) di mana saja berada. Pencari ilmu mesti jeli melihat, mengamati, dan meraih manfaat dari tiap jengkal langkah hidupnya. Tidaklah berlalu sesaat dari umurnya, kecuali ia isi dengan kemanfaatan. Abu Al-Bakhtary berkata: “Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripada saya, lebih saya sukai timbang bersama kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku.” Mengapa? Jawabnya, “Karena, jika aku duduk bersama kaum yang derajat pengetahuannya di bawahku, aku tidak bisa mengambil manfaat. Namun jika aku duduk bersama orang-orang yang lebih berilmu dari diri saya ini, aku bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.”
Adab keempat yang disebutkan oleh Habib Zain adalah bersikap sederhana dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Makan dan minum adalah kebiasaan siapa saja. Manusia makan dan minum untuk hidup. Namun hal demikian tidak lantas menjadi alasan untuk berlebih-lebihan, khususnya bagi pencari ilmu.
Bahkan, seorang ulama bernama Sahnun berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang makan hingga kekenyangan.”Dalam wasiat penuh hikmah dari Lukman Al-Hakim kepada putranya, ia berkata: “Wahai anakku, jika perut telah terisi penuh pikiran akan tertidur, hikmah akan berhenti mengalir, dan badan akan lumpuh dari beribadah.”Imam Syafi`i berkata, “Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karenakekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat kantuk, dan melemahkan orang tersebut dari beribadah.”
Demikianlah empat etika yang dipaparkan oleh Habib Zain seputar adab bagi manusia-manusia yang menceburkan dirinya dalam lautan ilmu. Ambillah ilmu yang hendak kita miliki sebanyak-banyaknya namun janganlah kita absen dari adab.
0 comments:
Post a Comment